25 Pengaruh Tarekat Di Dunia Islam. Ada dua persepsi yang lazim berkembang tentang jamiyah tarekat di Indonesia. Pertama, tarekat di anggap sebagai fanatisme guru yang dapat berubah menjadi fanatisme politik. Kedua, tarekat dinilai sebagai gajala depolitisasi, pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Tidakterlepas dari polemik kebudayaan tahun 1930 an. Pertanyaan tentang sejarah bahasa indonesia 1. Fungsi bahasa secara umum. Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia Sejarah Dan Perkembangan Sebutkan jumlah agama yang terdapat di indonesia beserta namanya. Kumpulan Soal Lomba Cerdas Cermat Pengetahuan Umum Sma Ibm Corporate Service Corps sejarahperkembangan tasawuf; Sejarah baca Tuis Al-Qur'an; QIRAAT; ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH; makalah waris smester 4. TUGAS KELOMPOK DOSEN PENGASUH Hukum Kewarisan Di Indonesia Dra. Hj. Wahidah, M.HI Sejarah baca Tuis Al-Qur'an TERSTRUKTUR METODE TAFSIR Sejarah Baca ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH DiIndonesia perkembangan ahli-ahli tasawuf dengan ajarannya baru tampak sekitar abad ke-16 dan ke-17, terutama di Sumatra dan Jawa. Pada periode itu di Kerajaan Aceh hidup beberapa ahli tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-samatrani, ar-Raniri, dan Abdurauff dari Singkel. Misteritentang misteri itu sendiri, dan lain sebagainya. Doc Makrifat 1tanya Jawab Syehc Siti Jenar Eka Priyatma - Academiaedu Pernyataan ini bukan dari sabda nabi saw. Pertanyaan tersulit tentang tasawuf. Pertanyaan tentang sejarah masuknya islam di indonesia perbedaan mendasar ilmu kalam, filsafat islam dan tasawuf. Kurunwaktu masyarakat indonesia untuk memeluk agama islam diperkirakan dari abad ke-11 sampai ke-17 Masehi. abad-abad sesudah itu merupakan pengembangan agama islam di indonesia. untuk menyelidiki daerah dan kerajaan mana yang lebih dahulu memeluk islam dapat diketahui melalui bukti-bukti sejarah seperti sejarah dinasti yuan (1280-1376 M nN7F5W. Jakarta, NU Online Ada dua karakter tasawuf yang muncul di Nusantara, yaitu tasawuf falsafi teoretis dan tasawuf amali praktis. Keduanya sudah berada di Nusantara sejak pertama kali Islam masuk ke wilayah ini abad ke-13 M. Di antara buktinya dengan keberadaan kitab at-Tuhfah al-Mursalah karya Al-Burhanpuri, Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili, Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali, dan sebagainya. Hal ini disampaikan oleh Intelektual Nahdlatul Ulama NU Ulil Abshar Abdalla Gus Ulil dalam seminar web Road to Muktamar Ke-34 seri 7 yang diselenggarakan oleh NU Online bekerjasama dengan Universitas Nahdaltul Ulama Indonesia Unusia, pada Rabu 1/12/2021 malam. "Bahkan konsep Insan Kamil karya al-Jili saat itu menarik para tokoh-tokoh. Tidak hanya bagi Walisongo, tetapi juga para raja, bangsawan, dan lain sebagainya," ungkap Gus Ulil. Lebih lanjut Gus Ulil menjelaskan, di antara dua karakter tasawuf tersebut, yang paling berpengaruh adalah amali. Hal itu dibuktikan dengan popularitas kitab Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali. Berikutnya, ini yang menjadikan Al-Ghazali menjadi kiblat tasawuf NU selain Imam Junaidi al-Baghdadi. "Meskipun KH Hasyim Asy’ari sendiri dalam kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah-nya menggunakan tasawuf Imam Abul Hasan asy-Syadzili," imbuhnya. Perkembangan tasawuf Nusantara Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia MUI KH Ali M Abdillah mengatakan, dalam perkembangannya, tasawuf di Nusantara mengalami dinamikanya masing-masing. Dari mulai pra kolonial sampai pasca kolonial. Kiai Ali memaparkan perkembangan tasawuf sejak abad ke-16 hingga abad ke-21. "Tokoh-tokoh penyebar ajaran tasawuf abad ke-16 sampai 18 di antaranya adalah Syekh Hamzah al-Fansuri yang merupakan ulama pengamal tarekat dan terkenal dengan konsep tasawuf falsafinya dengan istilah wujudiyah," paparnya. Selain al-Fansuri, ada pula Syekh Syamsuddin al-Sumatrani yang merupakan ulama pelopor ajaran Martabat Tujuh. al-Sumatrani juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Naqsabandiyah dan seorang tokoh yang gigih dalam melawan penjajah, termasuk dalam peristiwa perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Berikutnya, dilanjut dengan Syekh Abdurrauf al-Singkili yang meneruskan penyebaran ajaran Martabat Tujuh dan modifikasi tarekat Nasyabandiyah hingga berkembang pesat di Nusantara. Kemudian dilanjut dengan Syekh Yusuf al-Maqassari yang mengamalkan tarekat Samaniyyah atau dan juga ajaran Martabat Tujuh. Selanjutnya, ada Syekh Abdussamad al-Palimbani dan Syekh Nafis al-Banjari. Pada abad ke-19 M, praktik tasawuf mulai mendapat pengawasan dari Belanda karena ajaran tasawuf tarekat dianggap bisa membahayakan eksistensi penjajah di Nusantara. Di antara upaya yang dilakukan Belanda adalah dengan mengangkat Sayid Utsman sebagai mufti dan mengeluarkan fatwa tentang larangan ajaran tasawuf. "Sejak itu Belanda punya dasar untuk melarang ajaran Martabat Ttujuh dan tarekat-tarekat di seluruh wilayah Nusantara,” ujar Kiai Ali. Lebih lanjut, Kiai Ali mengungkapkan, termasuk kontrol yang dilakukan Belanda saat itu adalah adanya keharusan izin dari pihak penjajah jika ada orang ingin mengajarkan tasawuf. “Itu pun kegiatannya akan terus diawasi oleh Belanda,” imbuhnya. Memasuki abad ke-20 ketika masih dalam era kolonial, ditandai dengan banyak ulama yang secara sembunyi-sembunyi mengamalkan taswawuf. Termasuk pendiri KH Hasyim Asy’ari sendiri yang padahal pengamal tarekat Naqsabandiyah. Baru setelah Indonesia merdeka, tasawuf mulai terbuka diajarkan dan dipraktikkan. “Sekarang banyak pengajian online mengajarkan tasawuf, termasuk organisasi-organisasi yang rutin mengajarkannya seperti Jatman Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah,” pungkas Kiai Ali. Kontributor Muhamad Abror Editor Kendi Setiawan SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA Makalah Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Wardi Disusun oleh Dwi Fitriyanti 20170703032055 Nur Aisyah 20170703032140 Nurul Fadilah 20170703032143 Yulinar CT 20170703032161 Shinta Dwinur Sutansyah 20170703032168 PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2017 Kata Pengantar Pertama-tama perkenankanlah kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indoesia dan Tokohnya ”. Ucapan terima kasih dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini. Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang. Pamekasan, 30 Novenber 2017 penulis Daftar Isi DaftarIsi.................................................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………… a. Latar belakang ………………………………………………………… b. Rumusan masalah……………………………………………………… c. Tujuan masalah………………………………………………………... BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………………. a. Sejarah Tasawuf di Indonesia ……………………………………........ b. Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia …………………………………... BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………….. a. Kesimpulan …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. BAB 1 Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian sejarah tasawuf di Indonesia? 2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan ajarannya? Jelaskan! C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui sejarah tasawuf di Indonesia 2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah tasawuf di Indonesia Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.[1] Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan Syekh Tarekat Syattariyah. Sampai sekarang, kebesaran nama Syekh dari Ulakan tetap diabadikan masyarakat pesisir Minangkabau melalui upacara “basapa” pada setiap bulan Safar. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmuro.[2] Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut. Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali. Buku-buku karangan al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali. Pengaruh tasawuf falsafi cukup kuat dan luas penganutnya dikalangan penganut tarekat. Sedangkan tokohnya yang paling populer pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar. Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis nonreligius.[3] B. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia Ada banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Ada beberapa lima tokoh yang paling dikenal, diantaranya adalah 1. Hamzah Al-Fansuri Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin as-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Syekh Hamzah al-Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.[4] Beliau adalah seorang ulama’ yang cerdas dan menguasai dengan baik bahasa Arab, Persi, Jawa, Melayu, Aceh, Siam dan Urdu. Beliau banyak melakukan pengembaraan ke berbagai Negara dan tempat di kepulauan Nusantara, Semenanjung Melayu, Siam, India, Persia dan Arab. Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.[5] Syekh Hamzah Fansuri adalah penganut faham Wahdatul Wujud. Faham Wahdatul Wujud inilah yang mengakibatkan beliau dan muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani mendapatkan tantangan keras dari ulama’-ulama’ syari’at, terutama oleh Syekh Nuruddin ar Raniri karena menganut faham nilai beliau dicap sebagai orang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Selain menganut faham Wahdatul Wujud, ijttihad dan hulul dalam bidang tashawwuf, beliaupun dikatakan juga sebagai penganut syi’ah dalam aqidah. Syekh Hamzah Fansuri sangat giat dalam menyebarkan dan mengembangkan thariqat ke berbagai negeri. Beliau pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Mekkah dan Madinah. Begitu pula dengan negeri-negeri di Nusantara pernah dijelajahi, seperti Pahang, Kedah, Banten, Jawa dan sebagainya. Bahkan ada yang mengatakan pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan memperkembangkan tashawwuf itu di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.[6] Disamping giat menyebarkan tashawwuf ke berbagai pelosok negeri, beliaupun giat menulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Pengaruh dari karya Syekh Hamzah Fansuri memang luar biasa besarnya. Karena itu, karya-karya beliau baik yang berbentuk puisi maupun prosa banyak mendapat perhatian para sarjana maupun orentalis barat. Demikian perjuangan Syekh Hamzah Fansuri dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan faham yang diyakininya di tengah-tengah masyarakat sampai akhir hayatnya. Dan hingga sekarang kuburnya tidak diketahui.[7] 2. Syamsuddin Al-Sumatrani Syamsuddin Sumatrani adalah putra seorang ulama Aceh terkenal yang bernama Syekh Abdullah as Sumatrani.[8] Pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.[9] Beliau mendapatkan pendidikan dari tokoh shufi pada masa itu, yaitu Syekh Hamzah Fansuri di Aceh dan kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa dimana pada saat itu agama Islam sudah berkembang pesat berkat perjuangan gigih dari para Walisongo. Syamsuddin Sumatrani sangat giat mempelajari ilmu keislaman terutama ilmu tashawwuf. Terbukti dari guru-guru yang beliau pilih adalah para tokoh ahli tashawwuf. Baik Syekh Hamzah Fansuri maupun Syekh Maulana Makdum Ibrahim adalah para ulama’ ahli tashawwuf yang cukup terkenal ketika itu. Meskipun keduanya berbeda aliran dalam tashawwufnya dan faham yang dianutnya.[10] Setelah beliau menamatkan pelajarannya dan kembali ke kampung halamannya Aceh, nampaknya beliau langsung mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh. Beliau di percaya memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh. Disamping itu, beliau juga termasuk seorang pujangga Islam Indonesia yang kedua setelah Syekh Hamzah Fansuri. Disamping beliau disibukkan dalam kegiatan pemerintahan Kerajaan Aceh, beliau tetap giat menyebarkan dan mengembangkan tashawwuf dengan mengajar dan menulis. Tashawwuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin Sumatrani tidak berbeda dengan gurunya Syekh Hamzah Fansuri, yaitu faham Wahdatul Wujud, hulul, ittihad dan sebangsanya. Karena faham inilah beliau banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.[11] Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini Nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. Sewaktu beliau wafat pada tanggal 12 Rajab 1039 H / 1619 M. ada yang mengatakan beliau wafat tahun 1661 M. Syekh Nuruddin ar Raniri menulis pengakuan tentang kealiman beliau dalam kitabnya yang bernama Bustanus Salatin.[12] 3. Nuruddin Ar-Raniri Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadramaut. Menurut catatan Azyumardi Azra, ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujudiyyah yang dianggap sebagai aliran sesat. ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini.[13] Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[14] Pendirian ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu Arabi. Pandangan ar-Raniri hampir sama dengan Ibnu Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah SWT. Akan tetapi, tafsirannya membuatnya terlepas dari label panteisme Ibnu Arabi. Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT. melaluitajalli. Ia menolak teori al-faidh emanasi al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.[15] Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah Nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” kepada wujudiyah ternyata didukung oleh sultan.[16] Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh Nusantara sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu Indonesia. Kehadiran Nuruddin ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran wujudiyah-nya Syamsuddin al-Sumatrani.[17] 4. Abdur Rauf as-Sinkili Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri adalah seorang penyebar pertama thariqat Syathariyah di Indonesia. Beliau adalah murid dari Syekh Shafiuddin Ahmad ad-Dajjani al-Qusysyi, seorang guru besar shufi di Mekkah dan juga murid dari Syekh Ibrahim Al Kurani, seorang guru besar di Madinah.[18] Sebelum as-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran Tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.[19] Ajaran tasawuf al-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang sebagai penganjur Tarekat syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara. Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek imanensi yang menurut, sebagai paham kaum Wujudiyah.[20] Para penyebar thariqat Syathariyyah yang semuanya berpuncak pada Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri wafat boleh dikatakan tiada lagi generasi pelanjutnya. Namun thariqat ini pengaruhnya tetap ada hingga saat ini.[21] 5. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari al-Qur’an 30 juz.[22] Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Semua tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, semua silsilah itu belum ditemukan, kecuali silsilah Naqsabandiyah yang terdapat pada salah satu tulisan tangannya.[23] Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.[24] Kalau ajaran Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut syafi’iyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.[25] Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini,Syekh Yusuf mengembangkan istilah ihathahpeliputan dan al-ma’iyyahkesertaan. Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun tanazul, sementara manusia naik taraqi, suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan.[26] BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. 2. Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia a. Hamzah Al-Fansuri Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun. b. Syamsuddin al-Sumatrani Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. c. Nuruddin ar-Raniri Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. d. Abdur Rauf as-Sinkili As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT. e. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia,2010 Nasution Bangun, Ahmad dan Sinegar Hanum, Rayani, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013 Asrifin, Tokoh-tokoh Shufi,Surabaya Karya Utama [1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2010, hlm. 337. [5] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Surabaya Karya Utama, hlm 256 [9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013, hlm. 65. [10] Asrifin,Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 256. [13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 344. [16] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 65. [18] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 263. [19] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348. [20] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 67. [21] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 264. [22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 349. [24] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 68. [26] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 352. - Bacaan manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani masih dilantunkan Kiai Uus dalam haul KH. Encep yang pertama di Bogor. Pembacaan ini menjadi rangkaian akhir acara setelah dilakukan pembacaan doa khatam Al-Qur’an dan tahlil. Usai manaqib dan doa penutup, jemaah yang datang mendapatkan suvenir dari tuan rumah berupa sarung yang dibungkus goodie bag berwarna merah. Makanan khas tahlilan juga didapatkan jemaah ketika acara berakhir. Manaqib merupakan memoar yang umumnya membahas riwayat hidup, garis keturunan, pendidikan, akhlak, keistimewaan-keistimewaan, hingga waktu wafatnya seorang tokoh besar yang dibacakan pada acara-acara tertentu, seperti syukuran, haul peringatan kematian, dan peringatan acara keislaman lain. Abdul Qadir Al-Jailani atau Al-Jaelani merupakan tokoh yang dianggap wali, sultannya para aulia, kerap dijuluki juga Kanjeng Tuan Syekh. Beliau merupakan tokoh sufi yang umumnya sering dibacakan dalam pembacaan manaqib di Indonesia. Tarekatnya memiliki pengaruh yang besar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Awal Mula Tasawuf di Indonesia Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektual yang berkembang pesat. Hampir semua ulama terkemuka pada periode itu adalah para sufi. Tasawuf atau sufisme masuk melalui berbagai jalur, termasuk melalui perdagangan, pernikahan, dan dakwah. Namun, pengaruh tasawuf di Indonesia pada awalnya terutama berasal dari para pedagang Arab, Persia, dan India yang berdagang ke wilayah membawa ajaran tasawuf dan menyebarkannya melalui aktivitas dagang di pelabuhan-pelabuhan utama. Mereka juga membawa kitab-kitab dan tulisan-tulisan tentang tasawuf yang kemudian dikaji dan dipelajari oleh masyarakat setempat. Pada awalnya tasawuf di Indonesia dipraktikkan secara individu dan tidak dianut sebagai sebuah tarekat. Namun, dengan berkembangnya jumlah orang yang tertarik dengan ajaran tasawuf, maka terjadilah transformasi tasawuf dari sekadar metode menjadi organisasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan setempat yang tertarik dengan ajaran Islam kemudian berguru kepada para sufi dan membentuk komunitas-komunitas Islam yang berkembang menjadi pesantren dan majelis-majelis zikir. Ini terjadi antara abad ke-13 hingga ke-16, ketika tarekat-tarekat mulai tumbuh. Para sufi seperti Hamzah Fansuri yang bertarekat Qadiriyah, berperan penting dalam mengembangkan pemikiran tasawuf di Indonesia, yang kemudian membentuk tarekat-tarekat yang lebih terorganisasi. Tarekat-tarekat inilah yang menjadi tulang punggung dakwah Islam dan memainkan peranan penting dalam memperkuat akar Islam di Nusantara. Karya-karya Hamzah Fansuri seperti Syaran al-Asyiqin yang membicarakan tarekat, syariat, hakikat, dan makrifat bahkan dikenal luas dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Manuskrip aslinya kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan pengkodean Arifin dalam Sufi Nusantara Biografi, Karya Intelektual, & Pemikiran Tasawuf 2013 menulis bagaimana pengaruh Hamzah Fansuri lewat doktrin wahdat al-wujud menjadi rujukan Kesultanan Buton di Sulawesi, juga menjadi ilham lahirnya berbagai suluk di tanah Jawa. Periode berikutnya muncul beberapa tokoh awal tasawuf di Nusantara yang signifikan antara lain Syamsuddin As-Sumatrani, seorang syekh sufi yang banyak berkontribusi dalam bidang tasawuf dan menulis beberapa karya di antaranya Jauhar al-Haqa’iq, sebuah kitab berbahasa Arab yang berisi 30 halaman mengenai hakikat-hakikat tasawuf. Lantas ada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, syekh sufi yang tinggal di Aceh pada abad ke-17. Ia mengarang kitab berbahasa Melayu Bustan al-Salatin yang membahas tentang etika dan moral dalam menjalankan pemerintahan. Selanjutnya ada Syekh Yusuf Al-Maqassari, syekh sufi yang berasal dari Sulawesi Selatan yang bertarekat Naqsyabandiyah. Ia banyak berperan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Sulawesi dan melakukan perlawanan terhadap Belanda hingga diasingkan ke Afrika Selatan. Dalam perkembangannya, tasawuf di Indonesia juga dipengaruhi oleh tradisi keagamaan lokal seperti kejawen, kebatinan, dan mistisisme Jawa. Hal ini terlihat dalam cara pelaksanaan zikir atau wirid, serta dalam praktik-praktik keagamaan yang unik dan berbeda dengan praktik-praktik tasawuf di Timur Tengah. Pada masa ini lahirlah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan tokoh sufi kontoversial, Syekh Siti Jenar. Peran Alawiyyin dan Wali Songo Perkembangan tasawuf di Indonesia setelah masa awalnya juga dapat dikatakan sebagai puncak penyebaran ajaran Islam, yakni sekitar abad ke-16 hingga ke-19. Pada masa ini, tasawuf berkembang pesat dan menjadi salah satu kekuatan besar dalam kehidupan sosial keagamaan Indonesia. Beberapa keturunan Nabi Muhammad yang berdatangan sejak abad ke-14, kemudian dikenal dengan Alawiyyin, juga memengaruhi corak dakwah dan tasawuf di Indonesia. Dibarengi dengan tarekat-tarekat sufi yang dikembangkan Wali Songo juga tumbuh subur. Salah satu Wali Songo ialah Sunan Bonang, beliau adalah putra dari Sunan Ampel. Ia mengajarkan tentang pentingnya menaklukkan tiga musuh utama manusia, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Lalu ada Sunan Kalijaga, dikenal sebagai tokoh sufi toleran yang menggabungkan ajaran Islam dengan budaya lokal. Mereka mengajarkan tasawuf melalui metode-metode yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat awam. Misalnya sering menggunakan bahasa dan simbol-simbol yang akrab dengan masyarakat, seperti kisah-kisah, puisi, kesenian wayang, dan musik, untuk menjelaskan konsep-konsep tasawuf yang kompleks. Para Wali Songo juga menekankan pentingnya bimbingan spiritual murid-syekh dalam praktik tasawuf. Mereka mengajarkan bahwa bimbingan dari seorang guru sufi yang terpercaya dan berpengalaman sangat penting dalam mengembangkan kemampuan spiritual seseorang. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan 2013 menuturkan gambaran mengenai konsepsi akidah yang dianut Wali Songo dapat ditelusuri pada tokoh sentral Alawiyyin saat itu, Abdullah bin Alawi al­Haddad al-Husaini, yang menulis karya Ratib Al-Haddad, sebuah kitab mengenai amalan zikir dan doa-doa. Amalan ratib ini sering dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sebagai sarana mencapai kedekatan dengan Allah, mengingat-Nya, serta memohon perlindungan, keberkahan, dan ampunan-Nya. Peran Alawiyyin dan Wali Songo berpadu dalam bendera dakwah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mengajarkan bahwa praktik tasawuf harus berdampak pada pemahaman seseorang yang lebih dalam tentang Allah SWT, perubahan positif dalam diri, serta membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Tasawuf Indonesia di Era Kontemporer Pada masa ini, tasawuf tetap menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan di Indonesia. Orang-orang masih mengikuti tarekat-tarekat sufi dan mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf. Namun, tasawuf juga mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman. Ada banyak kelompok sufi baru yang muncul dan mencoba menggabungkan ajaran tasawuf dengan ideologi-ideologi baru. Selain itu, tasawuf juga memainkan peran penting dalam gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia seperti gerakan Islam modern dan gerakan keagamaan Islam politik. Tasawuf Modern merupakan buah pemikiran Buya Hamka, seorang ulama dan penulis yang dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Bukunya berisi kajian yang memadukan antara tradisi tasawuf yang telah ada sejak lama dengan akal sehat dan rasionalitas modern. Buya Hamka meyakini bahwa tasawuf tidak hanya terbatas pada upaya spiritual semata, namun juga memperhatikan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam bukunya, ia menjelaskan tentang konsep kesatuan manusia dengan alam semesta yang menjadi dasar penting dalam pemikiran tasawuf modern. Karyanya masih dipelajari di berbagai ranah pendidikan hingga kini. Tokoh-tokoh tasawuf zaman kiwari lain yang memiliki banyak pengaruh misalnya KH. Maimoen Zubair, yang dikenal sebagai kiai kharismatik dengan penyampaian dakwahnya yang sederhana. Sebelum wafat, ia aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama NU, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Majelis Ulama Indonesia MUI, dan Dewan Masjid Indonesia DMI. Tokoh sufi lain yang kerap menjadi rujukan berbagai kalangan tentu saja Habib Lutfi bin Yahya. Ia merupakan ulama pemimpin Tarekat Ba 'Alawiyya di Indonesia dan ketua Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah JATMAN. Tentu saja masih banyak lagi tokoh-tokoh sufi terkenal di Indonesia selain yang disebutkan di atas, termasuk pesantren dan makam-makamnya yang masih menjadi tujuan berziarah, seperti Abah Anom dari Suralaya, Tasikmalaya. Lalu ada Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya. Kemudian ada Abah Guru Sekumpul di Kalimantan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan tasawuf di Indonesia dan masih dihormati oleh banyak orang hingga saat ini. Infografik Mozaik Tasawuf di Indonesia. Pengelompokan Tarekat JATMAN menjadi wadah dalam mengorganisasi tarekat di Indonesia sejak didirikan pada 10 Oktober 1957. Dalam klasifikasinya, sebagaimana dikutip Kompas, terdapat dua pengelompokan tarekat, yakni tarekat mu'tabarah, tarekat yang sah karena memiliki silsilah yang terhubung hingga Nabi Muhammad. Kemudian tarekat ghairu mu'tabarah, tidak sah karena silsilahnya tarekat yang tergolong tarekat mu'tabarah di Indonesia dan diakui oleh NU antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Syathariyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Tijaniyah, dan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sementara tarekat ghairu mu'tabarah atau tidak sah, misalnya Tarekat Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur. Meskipun sebagian besar berpegang teguh pada taraket lama, namun ada juga tarekat yang sama sekali baru, bahkan dianggap menyesatkan. Pertengahan 1970-an pernah ada Tarekat Hak Maliah di Banten. Awal mulanya adalah seorang Haji Mustafa, yang konon belum pernah berhaji, mengadu nasib ke Banten bermodal surat keterangan dari Kejaksaan Jakarta Timur dan dokumen ringkas dari Golkar. Ditemani asistennya, ia hendak menyebarkan Tarekat Hak Maliah ke seluruh wilayah Banten. Seturut catatan Tempo edisi November 1976, dalam waktu singkat mereka berhasil mengumpulkan 92 pengikut. Ia mengadakan ritual menanam pisang ambon yang dikafani layaknya manusia. Makam itu kemudian dianggap keramat. Kejanggalan mulai tercium aparat Kodim 602 Serang saat ajaran ini mulai menyatakan bahwa Nabi Muhammad dan Imam Syafei itu tidak ada, wali ada sepuluh, yang satu Pangeran. “Adapun yang dimaksud dengan Pangeran itu adalah pisang ambon dalam makam keramat tadi,” tulis Tempo dalam artikel bertajuk “Aliran Pisang Ambon”. Meskipun tasawuf mengalami transformasi dan adaptasi dengan perkembangan zaman, ajaran-ajarannya tetap relevan pada kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam dan secara komprehensif juga berdampak pada perjalanan bangsa Indonesia. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi Oleh Abdul Hadi WM*Hamzah Fansuri di dalam MakkahMencari Tuhan di Baitil Ka’bahDi Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya jumpa di dalam rumahSufinya bukannya kainFi’l-Makkah daim bermainIlmunya lahir dan batinMenyembah Allah terlalu rajinHidup dalam dunia upama dagangDatang musim kita kan pulangLa tasta’khiruna sa`atan lagi’ kan datangMencari makrifat Allah jangan kepalangHamzah Fansuri, penyair sufi Melayu abad ke-16 MDalam konteks sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tarekat, pendakwah dan darwish atau fakir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin, orang-orang di pinggiran kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalan Islam. Tidak sedikit pula di antara mereka dikenal sebagai ahli falsafah, cendikiawan, sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial keagamaan yang populis. Ahli-ahli sejarah Islam dulu maupun sekarang juga telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam ta`ifa pada abad-abad tersebut memiliki afiliasi dengan tarekat-tarekat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di seantero dunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Makkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah Al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid Al-Baghdadi, dan Mansur Al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke-8-13 M. Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke-10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di hidup dan mendirikan Tarekat Maulawiyah di Konya, kota penting di Anatolia pada abad ke-11-17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sanga terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14-17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang mufti dan juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M di kesultanan Aceh sebagaimana kebangkitannya pada masa awal, bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970-an, dan terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya ialah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha, manager, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan beberapa fenomena pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai penerbitan buku tentang tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein Nasr, A J Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M Naquib Al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman Al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu pada awal 1970-an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survei yang dibuat IKAPI Ikatan Penerbit Indonesia kalau tak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980-an. Puncaknya ialah pada waktu Festival Istiqlal diselenggrakan paa tahun 1991 dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain budaya atau sastra di surat kabar ibukota seperti Harian Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur’an juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980-an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Misalnya seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan oleh karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ullumul Qur’ uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB Institut Pertanian Bogor. Training-training organisasi mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibukota. Tarekat-tarekat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun 1980-an. Sejauh mengenai gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus dijadikan ajang kegiatan politik. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar. Kebijakan depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka seperti ITB, IPB, UGM, dan UI dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan pembelajaran secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Tujuannya ialah menyusun strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam penghayatan secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di kalangan terpelajar pada tahun 1980-an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota, yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang teramat penting dalam memelihara dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena itu manusia wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu, memelihara kehidupan di dunia sebaik-baiknya. Orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup serba Hamzah Fansuri yang dikutip pada awal tulisan ini telah mengatakan kepada kita tujuan tasawuf yang sebenarnya yaitu tauhid; kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan tempat kita memohon pertolongan.* Sastrawan, Budayawan, dan ahli filsafat sumber Bayt Al-Hikmah InstituteBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Related PapersPENDAHULUAN Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf di sejumlah perpustakaan, di negara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara-negara Barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma'rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah Swt dan mengikuti syari'at Rasulullah saw. Dalam mendekatkan diri dan mencapai riḍha-Nya. 1 Tasawuf sendiri adalah upaya untuk membebaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaan demi meraih sifat-sifat malaikat dan akhlak ilahi, serta menjalani hidup pada poros ma'rifatullah dan maḥabbatullah sembari menikmati kenikmatan spiritual. Sedang sebuah ungkapan yang disematkan kepada para ahli tasawuf disebut sufi. 2 Tujuan para sufi adalah ma'rifatullah yang dalam perjalanannya melalui beberapa tahap seperti syariat, ṭarῑqah, hakekat dan ma'rifat. Ma'rifat adalah tujuan akhir dari tasawwuf, yang mana didikannya pun berpindah dari hakekat ke ma'rifat yaitu mengenal Tuhan sebaik-baiknya. 3 Sufisme atau orang-orang yang tertarik pada pengetahuan sebelah dalam, orang-orang yang berupaya mencari jalan atau praktik amalan yang dapat mengantarkannya pada kesadaran dan pencerahan hati adalah orang-orang yang mengikuti jalan penjernihan diri, penyucian hati dan meningkatkan kualitas karakter dan perilaku mereka agar mencapai tahapan maqam orang-orang yang menyembah Allah seolah-olah mereka melihat-Nya dan jikalau tidak Dia selalu melihat mereka. 4 Dari penjelasan di atas, maka tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan 1Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di Negara-Negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia, bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. Secara historis, tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga perkembangannya Syeikh Hamzah al-Fansuri merupakan ulama cendekiawan, sufi, dan budayawan yang berada di daerah Aceh. Beliau hidup pada pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah pertengahan abad ke-16 M hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam awal abad ke-17 M. Bargansky menginformasikan bahwa al-Fansusri hidup hingga akhir masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda 1607-1636 dan wafatnya beberapa tahun setelah datangnya Nurruddin Ar-Raniy yang kedua kalinya di Aceh pada tahun 1637. Syekh Hamzah al-Fansuri merupakan pelopor Wujudiyah di Nusantara. Pandangan tasawuf yang dimiliki oleh Beliau yang berbau Wujudiyah panteisme. Tokoh yang dianggap amat berpengaruh terhadap pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yakni Ibnu 'Arabi melalui karya-karyanya. Di Nusantara, Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai ulama sufi dengan memiliki paham tasawuf wujudiyah yang telah dikembangkan oleh sufi panteisme atau falsafat monisme. Kata kunci tasawuf; Hamzah AL-Fansuri; Nusantara Pendahuluan Kajian tasawuf merupakan kajian penting dalam ajaran islam. Tasawuf merupakan dimensi Ihsan ajaran islam. Doktrin tasawuf dapat ditemukan dalam Al-Quran dan HadistJa'Far,2012. tasawuf merupakan disiplin ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan pengkajiannyaseorang Muslim kepada Allah SWT. Perkataan para sufi mengindikasikan hal demikianJa'Far,2016. Tasawuf secara etimologi berasal dari kata bahasa arab, yaitu tashawwafa,Yatashawwafu, selain dari kata shuf yang artinya bulu domba, maksudnya adalah bahwa penganut tasawuf ini hidupnyaIslam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat aspek esoterik dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya aspek eksoterik. Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs penjernihan jiwa. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba' dan iqtida' kesetiaan meneladani perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana'ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhud dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yangSejarah munculnya tasawuf di Indonesia dan tokoh-tokoh penting serta Syamsuddin ibn Abdullah as-Sumatrani dikenal dengan nama Syamsuddin as-Sumatrani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin as-Sumatrani hidup di Aceh antara akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda w. 1045H/ 1639 M. Syamsuddin as-Sumatrani wafat pada 1040 H/1630 M. Syamsuddin as-Sumatrani adalah penganut mazhab Ibnu Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Dia pernah menduduki jabatan penting di Kerajaan Aceh yakni syaikh al-Islam. Syamsuddin as-Sumatrani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf. Paham wujudiyah Syamsuddin as-Sumatrani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Beberapa Karangan as-Sumatrani antara lain; Mir’ah al-Mu’minin, Mir’ah al-Muhaqqiqin, Syarh Ruba’i lil Hamzah Fanshuri, Jauhar al-Haqaiq, dan Tanbih al-Tullab fi Ma’rifah al-Malik al-Wahhab. Semua karyanya itu membahas Tasawuf.

pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia